Perjuangan

BIMBANG

Saat sebuah impian ingin kita capai, maka akan ada sesuatu yang harus dikorbankan. Hal yang akan kita lakukan untuk mencapai imipian tersebut harus menutup kesempatan dan jalan yang lain. Itulah yang kurasakan, saat cita-citaku yang akan ku coba untuk raih. Cita-cita yang sangat aku idam-idamkan dari kecil sampai sekarang adalah menjadi seorang Guru. Entah kenapa aku melihat seorang Guru itu adalah sesosok figur yang patut untuk dicontoh, figur yang memberikan inspirasi, dan figur yang jauh dari embel-embel honor yang besar, mengingat negeri ini sangat kejam terhadap guru yang belum termasuk instansi pemerintah. Tetapi tidak apa-apa dalam pikirku, karena yang penting upah yang aku dapat dalam menjadi seorang guru adalah upah yang bersih tanpa merugikan orang lain.
Saat itu aku adalah mahasiswa semester IV (semester ini akan berakhir) di salah satu perguruan tinggi swasta di Kabupaten Bandung. Waktu itu aku sudah mempunyai ambisi untuk mengajar di sekolah. Aku ingin sekali mengajar karena aku ingin mempunyai penghasilan sendiri, dan aku sudah malu meminta uang terhadap orang tua, karena aku tergolong masyarakat golongan menengah. Walaupun aku salah satu mahasiswa penerima beasiswa, namun aku berpikir bahwa uang beasiswa yang aku terima akan aku maksimalkan terhadap kebutuhan kuliah, dan keinginanku mengajar adalah selain memang impianku juga agar kebutuhanku diluar kuliah bisa terpenuhi. Walaupun sebelumnya aku telah mengajar di sekolah informal selama hampir 4 tahun terakhir ini (Madrasah Diniyah).
Singkat cerita, aku diterima di suatu sekolah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku bisa mengajar disana karena ada Guru dan sahabat kakakku yang juga mengajar disana, tetapi tetap aku masuk melalui jalur mandiri alias tidak titip nama kepada mereka, aku hanya menitip surat lamarannya saja. Aku mengajar salah satu mata pelajaran dan diberi 3 kelas untuk mengajar. Aku sangat senang sekali akhirnya yang aku mimpikan bisa terwujud dalam waktu yang tidak lama karena harus menunggu lulus kuliah terlebih dahulu, sehingga setelah lulus aku tidak khawatir akan mencari pekerjaan.
Sampailah aku di semester V. Disini awal dari permasalahanku berawal. Jadwal mengajarku dengan jadwal perkuliahanku bentrok. Sebenarnya bisa saja jadwal ini selaras dengan kesibukan antara kuliah dan mengajar, karena di semester ini mata kuliah tidak terlalu banyak. Namun kuliah adalah persaingan, dimana temanku sangat senang jika tidak sekelas denganku karena dia menganggap aku adalah saingan beratnya. Padahal aku tidak pernah menganggap siapapun saingan di dalam kelas. Dia mengotak-atik jadwal perkuliahan agar aku bisa bentrok dengan jadwal mengajarku. Dia mengacaukan jadwal sehingga akhirnya dia mendapat teguran dari dosen, karena dianggap mengatur jadwal sendiri, tidak hanya satu tapi dua dosen yang menegur dia. Namun apa daya, jika orang sudah diselimuti nafsu serakah apapun akan dia terobos demi tujuannya. Aku hanya bisa menerima dengan keadaan ini, karena aku masih bisa masuk ke kelas sore, yang akhirnya aku harus cuti dalam mengajar di Madrasah. Itu sangat membuatku terpukul karena aku sudah sangat menyayangi santri-santri yang menjadi anak didikku. Santri-santri disana pintar, kreatif, dan juga lucu, itulah yang membuatku senang jika bersama dengan mereka, sehingga aku selalu lupa akan rasa lelah dan masalahku bila sedang bersama dengan para santri diniyah.
Lalu, dosenku sampai-sampai bertanya “kenapa sekarang masuk kelas sore ? harusnya jadwalnya bisa disesuaikan dengan jadwal mengajarmu, kan cuma dua hari kau mengajar, koq teman-temanmu yang lain malah meninggalkanmu tanpa adanya pembicaraan kasihan kan kalau kuliah sore kamu dari siang sudah ada dan menunggu yang lainnya, dan lebih sayang lagi kalau dosennya tidak bisa masuk...” aku hanya bisa tersenyum dan berkata “tidak apa-apa bu/pak yang penting saya masuk kuliah” walaupun dalam hati aku masih sedikit ada rasa tidak menerima akan ketidakadilan. Dosen saja peka dengan keadaanku, tetapi kenapa teman-temanku seperti itu ya? Sebenarnya aku mempunyai kesimpulan, selain saingan mereka menurutku juga memiliki sifat yang kekanak-kanakan (egois), dan jujur dari mulai masuk kuliah aku juga tidak nyaman dengan mereka. Akhirnya terbukti memang mereka mempunyai sifat yang tidak dewasa dan kooperatif.
Lain waktu, madrasah diniyah yang sangat aku banggakan mengalami keterpurukan. Santri-santrinya menjadi sedikit, pokoknya kacau. Tidak ada ketegasan dari Kepala Madrasah yang baru, karena beliau jarang mengontrol keadaan madrasah. Terdapat guru baru (terutama dua orang) yang membuat kacau seisi diniyah. Dipikiran mereka adalah uang dan kebanggan mereka mempunyai gelar perguruan tinggi, sementara dari pihak kami yaitu guru-guru yang sudah lama mengajar mayoritas tidak sarjana. Walaupun begitu, tapi aku salut dengan mereka karena, bisa membuat anak-anak sampai bisa membaca Al-Qur’an, hafal surat, hafal Hadits, dan membuat anak-anak menjadi kreatif. Dua guru ini berani bertindak semena-mena karena sudah menganggap dirinya senior dan mempunyai gelar dalam dunia pendidikan diniyah. Ku akui guru-guru pendahulu sangat baik tidak pernah berulah (bisa dikatakan orang-orangnya pendiam tetapi masih bisa bersoisalisasi). Aku sangat sedih campur kecewa. Aku cuti dari diniyah mungkin sekitar 8 bulan, dan akhirnya aku masuk lagi ke diniyah, dan untungnya dua guru pengacau itu keluar dengan sendirinya karena mungkin mendapat sedikit demi sedikit perlawanan dari guru yang lain. Puncaknya adalah ketika ada orang tua yang protes terhadap diniyah kami, baru mereka keluar tanpa pamit serta tanpa permintaan maaf karena mungkin takut akan terkena kecaman oleh orang tua yang kebetulan anaknya di didik oleh guru ini.
Setelah itu kedaan diniyah menjadi stabil kembali, tetapi tetap mendapat cap buruk dari warga sekitar karena konflik yang dibuat oleh dua guru tadi. Sedikit catatan, kenapa dua guru pengacau ini bisa membuat keadaan diniyah terpuruk, itu karena mereka berasal dari diniyah sebelah yang sangat tidak suka dengan kehadiran diniyah kami, sehingga selain uang yang dipermalasahkan mereka juga menghasut para santri untuk pindah ke diniyah sebelah. Tidak hanya berkonflik dengan kami, tetapi mereka juga berkonflik dengan madrasah diniyah yang lain. Mereka bisa mengajar karena keinginan kepala madrasah (Ketua Jemaah) yang baru supaya kita bisa akur, tapi ternyata itu adalah anggapan yang merugikan madrasah diniyah ku.
Masuk di semester VI, aku mulai berani untuk masuk dalam mengatur jadwal, dan akhirnya bisa selaras dengan jadwal mengajarku, dan alhamdulillah aku bisa kembali mengajar di diniyah. Tetapi mahasiswa semester VI akan menuju KKN. Aku sangat bimbang aku kembali harus meninggalkan madrasah diniyah, aku takut hal dari tahun kemarin terulang, aku sangat khawatir. Aku berbicara pada kesiswaan di MTs untuk cuti selama satu bulan karena ada KKN, dan akhirnya beliau mengijinkan dengan catatan harus memberikan rangkuman kepada anak-anak, dan aku sanggupi tugas itu. Satu hal beres, aku memikirkan diniyah. Memang ada guru lain juga, tapi aku takut mereka kecapean karena harus menyatukan dua kelas yang santrinya lumayan banyak, dan aku khawatir akan hal itu, karena mayoritas tenaga pengajar di diniyah adalah perempuan. Tetapi Tuhan tidak akan membuat hambaNya menderita. Kepala Madrasah yang dulu kembali menjabat, aku sangat senang sekali, aku sudah dekat dengan beliau seperti kakak sendiri. Begitupun, aku juga sangat dekat dengan istrinya, dan mereka selalu memperlakukan guru-guru dengan selayaknya, menanyakan kondisi santri-santri, rapat setiap 3 bulan sekali, dan lain sebagainya. Selama aku KKN kelas yang aku pegang diambil alih oleh istri Kepala Madrasah, sementara Kepala Madrasah mengajar kelas malam (tingkat menengah khusus tahfidz). Aku sangat tenang dalam menjalani KKN selama satu bulan 4 hari.
Saat aku pulang santri-santri nya makin bertambah, mereka berasal dari beberapa daerah, bahkan ada yang jauh pula. Ternyata diniyahku harum juga diluar, diniyah ku bisa terdengar ditelinga masyarakat karena konsep Imtihan (pentas seni) yang kami suguhkan selalu spektakuler. Terlebih yang mereka tunggu-tunggu adalah kabaret yang ditampilkan selalu sukses membawa gelak tawa masyarakat. Selain itu, dikala ada pesta obor kami selalu tampil heboh dengan yel-yel ikonik yang selalu diserukan oleh anak-anak dengan sangat semangatnya. Terlebih saat tahun 2018 kami mengikuti perlombaan tingkat diniyah di desa sebelah, dan memenangkan juara di lomba pidato. Tidak hanya mengikuti lomba, kami juga diminta untuk tampil marawis di lokasi perlombaan. Santri-santri mendapat perhatian khusus dari warga desa sebelah karena kreatifitas mereka, kehebohan, dan kepercayaan diri mereka yang tinggi sehingga mendapat sorot mata dari setiap orang di lokasi perlombaan. Mungkin itu yang membuat nama diniyah ini menjadi gaung di desa sebelah. Sehingga, orang yang notabene jauh dengan jalan kaki saja mau mengaji di madrasahku ini. Bahkan sampai aku kembali dari KKN selama dua bulan terakhir, santri baru yang masuk ke diniyah masih banyak yang berdatangan.... syukur Alhamdulillah.............. aku selalu percaya, bahwa bila kita ingin menang, kta harus kalah terlebih dahulu agar merasakan yang namanya perjuangan dan rasa sakit. Jika tiba waktunya, maka akan terasa sangat bahagia walaupun hanya sebuah hal kecil. Aku pernah membaca disebuah literasi Al-Qur’an “... bahwa Allah itu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan” itu menyimpulkan bahwa Allah itu tahu mana yang terbaik untuk kita.

Komentar